Terempas Badai Lehman

25 September 2008

Lehman Brothers Holdings Inc. bangkrut. Dampaknya belum terbaca.

… Cause the walls started shaking,
The earth was quaking,
My mind was achin’…

Suara Brian Johnson, vokalis AC/DC, melengking dari salah satu meja di kantor pusat Lehman Brothers, Jumat dua pekan lalu. Selarik lirik lagu You Shook Me All Night Long itu seakan menjeritkan penantian panjang karyawan perusahaan investasi terbesar keempat di Amerika Serikat tersebut soal nasib mereka.

Siang itu, sebuah memo meluncur dari lantai 31, tempat Richard S. Fuld Jr., bos Lehman, berkantor. Isinya: masa depan Lehman akan diputuskan Ahad, dua hari kemudian. Setelah itu adalah serangkaian kabar burung dan negosiasi yang gagal. Baca entri selengkapnya »


Dimana Pertamina ?

5 Maret 2008

Dimana Pertamina ?

Sri Hartati Samhadi

Lonjakan harga dan gejolak pasar minyak beberapa tahun terakhir seolah
memberi amunisi bagi era kebangkitan dan bermunculannya pemain-pemain
global baru di bidang minyak dan gas dari negara-negara berkembang.
Tidak sedikit di antara mereka adalah badan usaha milik negara.

Selama ini, industri minyak dunia dikuasai oleh tujuh perusahaan
minyak raksasa dari negara maju, yang sering dijuluki sebagai “The
Seven Sisters”. Ketujuh pemain besar dari negara maju ini adalah
Exxon, BP, Royal Dutch Shell, Mobil Oil, Texaco, Gulf, dan Chevron.
Mereka sangat kuat karena menguasai sekitar 40 persen pasokan minyak
dunia.

“Alasan mengapa ‘The Seven Sisters’ begitu penting adalah karena
mereka yang membuat aturan (rule makers), mereka menguasai industri
dan pasar. Kini, ‘Seven Sisters’ yang baru yang membuat aturan dan
perusahaan-perusahaan minyak internasional itu hanya menjadi pengikut
(rule takers),” ujar Robin West, Chairman PFC Energy, sebagaimana
dikutip harian Financial Times.

Tampaknya sejarah berulang. Dulu, ketujuh perusahaan minyak raksasa
ini mengambil alih dominasi dan kepemimpinan pasar dari “Seven
Sisters” (julukan yang pertama kali diberikan oleh pakar energi Italia
Enrico Mattei) generasi pertama, yang menguasai industri minyak dunia
pasca-Perang Dunia II.

Mereka adalah Standard Oil of New Jersey, Royal Dutch Shell, Anglo
Persian Oil Company, Standard Oil of New York, Standard Oil of
California, Gulf Oil, dan Texaco.

Kini giliran generasi kedua “The Seven Sisters” yang mulai tergusur
oleh pemain-pemain global baru dari negara berkembang, yang sebagian
besar di antaranya perusahaan milik negara. Dari 50 perusahaan minyak
terbesar dunia, lebih dari separuh adalah badan usaha milik negara
(BUMN) dan 15 di antaranya dari negara berkembang.

Bersama sejumlah perusahaan migas milik swasta, BUMN- BUMN migas ini
ini berkembang menjadi perusahaan-perusahaan multinasional
(transnational companies/TNCs) yang cukup diperhitungkan dan matang
dalam beberapa tahun terakhir. Banyak dari mereka yang mencatatkan
saham di Bursa Saham New York (NYSE), termasuk CNNOC (China),
Petrobras (Brasil), Petrochina (perusahaan afiliasi CNPC), dan
Sinopec.

Para pemain global baru ini menjadi bagian dari era baru kebangkitan
TNCs multinasional negara-negara berkembang, terutama Asia.

Harian Financial Times menyusun daftar tujuh calon penghuni baru
kelompok bergengsi itu berdasarkan basis sumber daya yang dikuasai,
tingkat output (produksi), ambisi perusahaan, skala pasar domestik,
serta tingkat pengaruh mereka pada industri minyak dan gas dunia.

Mereka adalah: Aramco (Arab Saudi), Gazprom (Rusia), CNPC (China),
National Iranian Oil Company/NIOC (Iran), PDVSA (Venezuela), Petrobras
(Brasil), dan Petronas (Malaysia).

Dalam daftar yang dibuat United Nations Conference on Trade and
Development (UNCTAD), semua perusahaan itu, kecuali Aramco, masuk
dalam daftar 19 perusahaan minyak terbesar dunia dengan operasi secara
global. Aramco tidak masuk karena sebagian besar kegiatan eksplorasi
dan produksi dilakukan di dalam negerinya sendiri. Di mana posisi
Pertamina? Tidak masuk hitungan!

Dari sisi kepemilikan saham di kegiatan produksi minyak asing, peran
BUMN-BUMN minyak Asia, menurut laporan The Role of Asian Oil
Companies, memang masih kecil, sekitar 2 persen dari produksi minyak
global pada 2005- 2006. Mereka diperkirakan juga belum akan menjadi
ancaman bagi perusahaan minyak raksasa dari negara maju dalam pasokan
ke pasar dalam waktu dekat.

Namun, ketujuh perusahaan itu kini menguasai sekitar sepertiga
produksi serta cadangan minyak dan gas dunia. Sebagai gambaran betapa
strategisnya posisi mereka, “The Seven Sisters” dari negara maju yang
sekarang–yang kemudian menciut menjadi empat karena konsolidasi di
antara mereka pada tahun 1990-an (menjadi ExxonMobil, Chevron, BP, dan
Shell)–hanya memproduksi sekitar 10 persen produksi minyak dan gas
dunia serta menguasai sekitar 3 persen cadangan minyak dan gas dunia.

Badan Energi Internasional (EIA), memprediksikan 90 persen pasokan
minyak dunia dalam 40 tahun ke depan akan datang dari para pemain
negara-negara berkembang ini. Ini membalikkan kondisi 30 tahun
terakhir di mana 40 persen pasokan minyak dunia berasal dari negara-
negara maju, dengan generasi kedua The Seven Sisters sebagai sebagai
operator utama.

Para pemain baru dari negara berkembang mulai mengalahkan pemain-
pemain lama dalam agresivitas akuisisi saham perusahaan-perusahaan
minyak dari berbagai negara. Aktivitas mereka ikut meramaikan demam
perburuan minyak di tengah krisis harga minyak yang hampir menyeret
perekonomian global dalam resesi akhir-akhir ini.

Motifnya untuk China lebih untuk mengamankan kebutuhan energi skala
masif perekonomian mereka di masa depan. Sementara, ekspansi BUMN-
BUMN migas Rusia lebih banyak dilandasi oleh kepentingan mengamankan
akses pasar, terutama di negara maju, melalui kegiatan terintegrasi di
hulu.

Paling berhasil

Dengan menguasai 25 persen cadangan minyak dunia dan kapasitas
produksi hampir tiga kali lipat dari pesaing terdekat, Aramco, yang
merupakan BUMN minyak Arab Saudi, sekarang ini bisa dikatakan sebagai
perusahaan minyak nasional paling berhasil di dunia.

Kendati lapangan terbesarnya mulai menua, BUMN ini masih menempati
posisi teratas produksi minyak dunia, disusul BUMN migas Rusia
(Gazprom) dan BUMN migas Iran (NIOC).

Berbeda dengan Aramco, BUMN-BUMN dari China dan Rusia jauh lebih
agresif dalam melakukan ekspansi di luar wilayahnya. Data UNCTAD
(World Investment Report 2007), investasi BUMN- BUMN minyak China
sudah menyebar di lebih dari 46 negara, kebanyakan di negara-negara
berkembang, meliputi kegiatan eksplorasi, produksi, transportasi,
pengilangan, hingga kontrak jasa.

Meski gagal mengakuisisi perusahaan minyak AS, Unocal, CNPC menyabet
sejumlah kontrak besar di negara maju, termasuk Australia dan Kanada.

BUMN-BUMN China ini bersaing dengan perusahaan-perusahaan minyak Rusia
yang beberapa tahun terakhir aktif dalam proyek eksplorasi dan
eksploitasi di sejumlah negara bekas Uni Soviet (CIS) atau negara
berkembang lain yang memiliki keterkaitan sejarah panjang dengan
Federasi Rusia.

Sebagian dari hak kuasa penambangan yang dipegang Rusia sekarang ini
diwarisi dari Uni Soviet sebelum pecah. Bukan hanya ekspansi secara
internasional, BUMN-BUMN minyak Rusia secara agresif juga mulai
“menasionalisasi” proyek-proyek migas dan energi penting di negaranya
yang semula dikuasai oleh pemain-pemain Barat.

Petronas juga tidak mau kalah. Sepak terjang perusahaan ini termasuk
spektakuler. BUMN ini baru mulai melakukan ekspansi internasional
tahun 1990- an. Dimulai dari negara-negara tetangga terdekat di Asia
Tenggara, Petronas kini sudah mengembangkan sayap ke lebih dari 33
negara.

Petronas mulai terjun ke kegiatan di sektor hulu di luar Asia Tenggara
pada tahun 1996, dengan mengakuisisi perusahaan pengilangan di Afrika
Selatan. Disusul eksplorasi di negara Afrika lain seperti Sudan
(1999), Gabon (1999), Chad (2000), Kamerun (2000), Aljazair (2001),
Mozambik (2002), Etiopia (2003), dan Niger (2005).

BUMN ini juga terlibat dalam konstruksi jaringan pipa dan pengembangan
jaringan stasiun pengisian bahan bakar (SPBU) di berbagai negara,
seperti China, India, Argentina, Afrika Selatan, Sudan, dan Inggris.
Sekitar 30 persen pendapatan Petronas diperoleh dari operasi di luar
negeri dan dari hampir seratus lapangan minyak yang dikelola, sekitar
50 sudah berproduksi.

Kendati tidak seagresif China dan Malaysia, Thailand juga tak mau
ketinggalan. PTT, BUMN minyak negara ini, mulai ekspansi di luar
negeri akhir 1990-an. Meski konsentrasi investasinya masih di sekitar
kawasan Asia Tenggara, beberapa tahun terakhir PTT mulai mengikuti
jejak Malaysia melalui joint venture eksplorasi dengan perusahaan
minyak lain di Asia Barat dan Afrika. PTT juga menjadi pemain penting
dalam pembangunan proyek jaringan pipa trans-ASEAN.

Demam ekspansi global juga menghinggapi negara Asia lain seperti India
dan Korea Selatan, dan negara berkembang di luar Asia. Dua perusahaan
minyak India, ONGH Videsh dan Indian Oil Corporation, masing-masing
sudah memproduksi minyak dari lapangan di Rusia (proyek Sakhalin 1)
dan Libya.

Korsel melalui BUMN KNOC juga sudah menggarap proyek pengembangan 26
lapangan minyak di 14 negara. Tahun lalu, perusahaan ini melakukan
ekspansi di Australia, Kazakstan, Nigeria, Rusia, dan Yaman. Sementara
Petrobras dari Brasil mulai produksi di delapan negara dan terlibat
dalam kegiatan eksplorasi dan investasi di sektor hulu di 10 lokasi
lainnya.

Satu dekade terakhir menjadi saksi metamorfosa dramatis BUMN-BUMN
minyak dari berbagai negara berkembang Asia. Dari semula pemain lokal,
mereka menjelma jadi pemain global yang terus merangsek ke atas dalam
jajaran TNCs terbesar dunia.

Sepak terjang mereka memudarkan dominasi pemain global negara maju dan
mengukuhkan hipotesa abad ke-21 sebagai abad kejayaan Asia, milik
Asia. Sayang, Indonesia dengan BUMN migas Pertamina-nya ketinggalan
gerbong dalam eforia ini.

Sent by: khilafah@yahoogroups.com