Sepakbola Indonesia,Kalah Inteligensia..!

23 Desember 2008

Sore tadi secara tidak sengaja saya “nyangkut” pada salah satu channel TV swasta yang sedang menayangkan sebuah liputan tentang upaya PSSI untuk mencetak pemain pemain sepakbola Indonesia masa depan.

Tak kurang dari 25 orang pemain muda pilihan diboyong ke negeri Uruguay untuk mengikuti pemusatan latihan disana. Sang manager tim secara meyakinkan menjelaskan , bahwa PSSI sedang serius mempersiapkan program masa depan. Diceritakan sejak mulai merancang program, hunting para calon pemain sampai dengan menentukan pelatih dan tempat pemusatan latihan.

Saya tertarik tentang bagaimana sang manager yakin bahwa pemain pemain yang saat ini sedang menjalani pusat latihan di Uruguay sudah merupakan hasil maksimal seleksi yang dilakukan PSSI. Berulang ulang sang manager menyampaikan bahwa kriteria pemilihan mengacu pada standard yang tinggi. Terutama adalah standard talenta bermain dan standard phisik, khususnya persyaratan tinggi badan yang minimal 180 Cm.

Hmm.., sepintas nampaknya begitu yakin dan menjanjikan. Tiba tiba saya terbayang tayangan malam sebelumnya ketika tim PSSI menghadapi tim nasional Thailand di gelora Bung Karno Jakarta. Dihadapan publik sendiri tim PSSI tak berkutik dikalahkan tim Thailand. Bagi saya bukanlah skor akhir tersebut yang begitu menarik. Namun jauh lebih menarik adalah selama proses permainan berlangsung. Bagaimana secara kasat mata faktor “Inteligensia” atau kecerdasan (baik kognitif maupun kecerdasan emosiaonal) yang sangat menentukan hasil akhir pertandingan tersebut.

Sepakbola merupakan permainan phisik yang dikombinasikan dengan kecerdasan. Bahkan pada pertandingan pertandingan kelas dunia (seperti liga champion, UEFA dll) ketika faktor phisik dan kemampuan teknis sudah hampir berimbang, faktor kecerdasan ini justru merupakan faktor yang dominan. Tim yang memiliki pemain pemain yang lebih cerdas lah yang memiliki probabilitas kemenangan yang lebih besar.

Selama dua kali empatpuluh lima menit, keputusan demi keputusan harus selalu diambil seorang pemain. Kapan harus meng-over bola ke kawan, kapan harus memutuskan untuk melakukan shooting ke gawang lawan, kapan harus berlari tanpa bola, bahkan untuk menentukan kapan menurunkan tempo permaianan merupakan perilaku perilaku produk kecerdasan pada masing masing permain.

Pada pertandingan Tim Indonesia melawan Tim Thailand malam kemarin, nampak jelas faktor kecerdasan tersebut yang minim dimiliki tim Indonesia. Sering sekali seorang pemain salah mengambil keputusan, bahkan terhadap hal yang paling sederhana sekalipun, meng-over bola ke kawan misalnya. Saya melihat seringnya kesalahan meng-over bola ke kawan tersebut bukanlah masalah faktor teknis, namun minimnya kecerdasan pada pemain. Sepersekian detik ketika harus memutuskan untuk meng-over bola tersebut seorang pemain sangat membutuhkan faktor inteligensia yang baik.

Pada pertandingan tersebut hampir tak terhitung kesalahan over yang seringnya justru membentur tubuh lawan. Pemandangan seperti tersebut bagi seorang penonton sepakbola merupakan hal yang menjengkelkan dan mengganggu kenyamanan menonton. Bagaimana tidak, keinginan menonton pertandingan yang nyaman untuk ditonton menjadi terganjal oleh pemandangan seringnya bola nyangkut ditubuh pemain.

Belum lagi seringnya terjebak offside, atau menendang bola kegawang secara egois (yang melenceng jauh) sementara ada dua kawan yang bebas tanpa pengawalan pemain lawan.
Inteligensia…, itulah masalahnya.

Sayangnya, sang manager PSSI yang memimpin tim ke Uruguay tersebut sama sekali tak pernah menyinggung faktor ini. Saya tidak yakin, adakah pengurus ditubuh PSSI yang sadar tentang hal ini.

Mencari 22 pemain bertubuh atletis 180 Cm keatas saya pikir bukanlah faktor sulit, mengingat potensi ratusan juta rakyat. Namun mencari pemain yang sekaligus juga memiliki inteligensia yang tinggi ? Hmm…., nampaknya perlu lebih kerja keras..!!

Bravo Sepakbola Indonesia….Cerdaslah bangsaku..!!

Ditulis oleh : aulia muttaqin (Psikolog penikmat sepakbola, hidup di Samarinda – East Borneo)

Tulisan ini juga dipublikasikan di http://www.auliamuttaqin.wordpress.com


Sekolah lebih pagi ? Kecerdasan menurun..!!

10 Desember 2008
by : Siagian Priska Cesillia
Sekolah terlalu pagi berpotensi menurunkan kecerdasan anak.
http://jurnalnasional.com/?med=Koran%20Harian&sec=Kesehatan&rbrk=&id=74217&detail=Kesehatan

WAKIL Gubernur DKI Jakarta Prijanto mengumumkan per Januari 2009, jam masuk sekolah anak-anak sekolah akan dimajukan menjadi pukul 06.30 WIB, dari sebelumnya pukul 07.00 WIB. Dasarnya adalah untuk mereduksi kemacetan sebesar 6-14 persen. Bagaimanakah sisi kesehatan menangkap niatan Pemerintah Provinsi Ibu Kota ini?

“Hal ini dapat mengganggu metabolisme tubuh anak dan memengaruhi kesehatan emosional dan daya tangkapnya menerima pelajaran,” kata Dr Andreas A Prasadja kepada Jurnal Nasional.

Dokter spesialis kesehatan tidur atau Sleep Technologist ini kemudian menjelaskan bahwa jam biologis atau circadian rhythm adalah ritme yang mengatur semua aktivitas fisik secara periodik. Di mana pada pengaturan tidur dan bangun, jam biologis akan memberikan rangsangan. “Ketika harus terjaga, tubuh akan memberikan rangsangan terjaga. Sementara ketika utang tidur, tubuh akan memberikan rasa kantuk,” katanya seraya menyebutkan bahwa sepanjang hari keduanya berebut pengaruh.

Dokter yang mendirikan laboratorium tidur bekerja sama dengan RS Mitra Kemayoran ini kemudian memberikan gambaran. Bahwa ketika bangun pagi, utang tidur tidak ada. Ini kemudian direspons jam biologis dengan memberikan rangsang terjaga. “Puncak aktifnya, sekitar jam 10 pagi. Sehingga, utang tidur kalah,” Inilah yang kemudian membuat jam biologis menurun. Akibatnya, setelah makan siang, tubuh bereaksi dengan rangsangan mengantuk. “Namanya after lunch circadian dipping dan tidak ada hubungannya dengan habis makan, kenyang, lalu mengantuk,” katanya.

Memasuki sore hari, Andreas menyebutkan bahwa aktivitas jam biologis akan kembali naik. Sehingga, membuat seseorang terjaga dan berlanjut sampai saat malam yang membuat utang tidur menumpuk. “Itulah mengapa pada jam bugar sebaiknya kita beraktivitas. Dan ketika jam mengantuk kita istirahat,” kata Andreas.

Menurutnya, jika pada orang dewasa waktu tidur 5-6 jam sudah cukup, tidak demikian halnya bagi anak-anak. Usia sekolah dasar, kecukupan tidurnya adalah 9-10 jam. Di mana umumnya mereka baru mulai tidur ketika pukul 8-9 malam. Artinya, mereka sebaiknya bangun pukul enam pagi. “Itulah mengapa idealnya pelajaran mulai jam delapan pagi,” kata Andreas menekankan. Sehingga, ketika jam biologis memberikan reaksi aktif, mereka akan menerima pelajaran dengan baik.

“Karena, yang terjadi jika mereka berangkat sekolah pada saat harusnya tidur, maka emosional dan daya tangkapnya terhadap pelajaran pun tidak optimal,” kata Andreas. Di Amerika Serikat, bahkan ada gerakan memundurkan jam masuk sekolah menjadi 8.30 untuk memberikan privilege kepada anak-anak mendapatkan waktu tidur yang cukup. “Alhasil, prestasi akademis dan olahraga mereka pun meningkat. Bahkan, kenakalan remaja serta absensi berkurang, hanya dengan menambah jam tidur satu jam,” katanya lagi.

Penelitian yang dilakukan pada 2004 itu, menurut Andreas, juga didasari bahwa pada anak-anak, waktu tidur adalah waktunya memproduksi hormon pertumbuhan. Di mana salah satu hal terpenting yang dimiliki hormon pertumbuhan adalah menciptakan perisai daya tahan tubuh. “Akibat dari hormon pertumbuhan yang tidak maksimal akan membuat status emosionalnya menjadi labil. Belum lagi dengan tingkat kemacetan yang parah, membuat anak-anak harus bangun lebih pagi,” katanya.

Bisakah anak-anak mengganti utang tidur mereka dengan tidur siang? Menurut Andreas, dengan masuk sekolah pukul 6.30, maka minimal anak-anak harus bangun pukul 5.30 (ada anak-anak yang harus bangun pukul 04.00 bila jarak sekolah-rumah sangat jauh). Ketika pukul dua siang sepulang sekolah, mereka belum mengantuk karena jam biologis baru memasuki waktu aktif. “Belum lagi, anak-anak zaman sekarang diminta mengikuti banyak kursus oleh orang tuanya. Jadi, sulit sekali (untuk tidur siang),” kata Andreas.

Untuk meminimalisasi utang tidur, Andreas menekankan pada kualitas tidur malam hari. Pada saat persiapan tidur, anak harus mengondisikan otaknya untuk melalui tahapan-tahapan tidur. Tidur dalam, dapat terjadi ketika gelombang otak memasuki slow wave sleep atau fase tidur dalam. Untuk sampai pada tahap ini, gelombang otak Anda harus melalui tahap rapid eye movement (REM), Non-REM. Di mana pada tahap Non-REM dibagi empat tahap. Tahap 1-2 adalah tidur dangkal dan tahap 3-4 adalah tidur dalam. Tahap tidur dalam, adalah tahap di mana orang paling sulit dibangunkan.

Ketika anak terpaksa bangun lebih pagi untuk berangkat ke sekolah, maka waktu tidur dalamnya tidak panjang. Padahal, di tahap inilah hormon pertumbuhan menunjukkan eksistensinya. “Tandanya, anak sulit dibangunkan dan ketika bangun pun masih bengong. Kalau anak berhasil dibangunkan, itu artinya orang tua baru saja memotong proses tumbuh kembangnya,” kata Andreas.


Gedung tertinggi di Dunia “Tumbang”.

1 Desember 2008

Burj Dubai (Gedung Tertinggi) Bakal Lewat….
Negara Timur Tengah sepertinya sedang berlomba-lomba untuk menjadi negara yang ter-apapun di dunia.

Setelah sebelumnya di Dubai dibangun gedung tertinggi di dunia dengan nama Burj Dubai (sekitar 800 meter), Kuwait akan “menyalip” rekor Burj Dubai dengan gedungnya yang diberi nama Burj Mubarak Al-Kabir. Baca entri selengkapnya »