Sore tadi secara tidak sengaja saya “nyangkut” pada salah satu channel TV swasta yang sedang menayangkan sebuah liputan tentang upaya PSSI untuk mencetak pemain pemain sepakbola Indonesia masa depan.
Tak kurang dari 25 orang pemain muda pilihan diboyong ke negeri Uruguay untuk mengikuti pemusatan latihan disana. Sang manager tim secara meyakinkan menjelaskan , bahwa PSSI sedang serius mempersiapkan program masa depan. Diceritakan sejak mulai merancang program, hunting para calon pemain sampai dengan menentukan pelatih dan tempat pemusatan latihan.
Saya tertarik tentang bagaimana sang manager yakin bahwa pemain pemain yang saat ini sedang menjalani pusat latihan di Uruguay sudah merupakan hasil maksimal seleksi yang dilakukan PSSI. Berulang ulang sang manager menyampaikan bahwa kriteria pemilihan mengacu pada standard yang tinggi. Terutama adalah standard talenta bermain dan standard phisik, khususnya persyaratan tinggi badan yang minimal 180 Cm.
Hmm.., sepintas nampaknya begitu yakin dan menjanjikan. Tiba tiba saya terbayang tayangan malam sebelumnya ketika tim PSSI menghadapi tim nasional Thailand di gelora Bung Karno Jakarta. Dihadapan publik sendiri tim PSSI tak berkutik dikalahkan tim Thailand. Bagi saya bukanlah skor akhir tersebut yang begitu menarik. Namun jauh lebih menarik adalah selama proses permainan berlangsung. Bagaimana secara kasat mata faktor “Inteligensia” atau kecerdasan (baik kognitif maupun kecerdasan emosiaonal) yang sangat menentukan hasil akhir pertandingan tersebut.
Sepakbola merupakan permainan phisik yang dikombinasikan dengan kecerdasan. Bahkan pada pertandingan pertandingan kelas dunia (seperti liga champion, UEFA dll) ketika faktor phisik dan kemampuan teknis sudah hampir berimbang, faktor kecerdasan ini justru merupakan faktor yang dominan. Tim yang memiliki pemain pemain yang lebih cerdas lah yang memiliki probabilitas kemenangan yang lebih besar.
Selama dua kali empatpuluh lima menit, keputusan demi keputusan harus selalu diambil seorang pemain. Kapan harus meng-over bola ke kawan, kapan harus memutuskan untuk melakukan shooting ke gawang lawan, kapan harus berlari tanpa bola, bahkan untuk menentukan kapan menurunkan tempo permaianan merupakan perilaku perilaku produk kecerdasan pada masing masing permain.
Pada pertandingan Tim Indonesia melawan Tim Thailand malam kemarin, nampak jelas faktor kecerdasan tersebut yang minim dimiliki tim Indonesia. Sering sekali seorang pemain salah mengambil keputusan, bahkan terhadap hal yang paling sederhana sekalipun, meng-over bola ke kawan misalnya. Saya melihat seringnya kesalahan meng-over bola ke kawan tersebut bukanlah masalah faktor teknis, namun minimnya kecerdasan pada pemain. Sepersekian detik ketika harus memutuskan untuk meng-over bola tersebut seorang pemain sangat membutuhkan faktor inteligensia yang baik.
Pada pertandingan tersebut hampir tak terhitung kesalahan over yang seringnya justru membentur tubuh lawan. Pemandangan seperti tersebut bagi seorang penonton sepakbola merupakan hal yang menjengkelkan dan mengganggu kenyamanan menonton. Bagaimana tidak, keinginan menonton pertandingan yang nyaman untuk ditonton menjadi terganjal oleh pemandangan seringnya bola nyangkut ditubuh pemain.
Belum lagi seringnya terjebak offside, atau menendang bola kegawang secara egois (yang melenceng jauh) sementara ada dua kawan yang bebas tanpa pengawalan pemain lawan.
Inteligensia…, itulah masalahnya.
Sayangnya, sang manager PSSI yang memimpin tim ke Uruguay tersebut sama sekali tak pernah menyinggung faktor ini. Saya tidak yakin, adakah pengurus ditubuh PSSI yang sadar tentang hal ini.
Mencari 22 pemain bertubuh atletis 180 Cm keatas saya pikir bukanlah faktor sulit, mengingat potensi ratusan juta rakyat. Namun mencari pemain yang sekaligus juga memiliki inteligensia yang tinggi ? Hmm…., nampaknya perlu lebih kerja keras..!!
Bravo Sepakbola Indonesia….Cerdaslah bangsaku..!!
Ditulis oleh : aulia muttaqin (Psikolog penikmat sepakbola, hidup di Samarinda – East Borneo)
Tulisan ini juga dipublikasikan di http://www.auliamuttaqin.wordpress.com