“LEADERSHIP”.., KEMAMPUAN YANG HAMPIR PUNAH

Judul di atas merupakan fenomena (khususnya di Indonesia) yang bukan tanpa alasan. Banyak kasus terutama didunia kerja dan pemerintahan yang menunjukkan hal tersebut.

Beberapa kasus berikut bisa dijadikan salah satu case kepemimpinan :

Sering ditemui seorang supervisor menjadi sangat bersemangat ketika “memperjuangkan” kenaikan gaji bawahannya, walaupun sudah dijelaskan bahwa ia sudah melanggar SOP atau aturan main yang ada.

Bermodalkan “penolakan” dari HRD tersebut, dengan gaya “seakan akan sdh jadi pahlawan” ia akan menjelaskan kepada anak buahnya bahwa dia sudah berusaha mengusulkan kenaikan gaji bawahannya tersebut, tapi pihak HRD lah yang menghalang halanginya. Maka malang tak dapat ditolak, bagi HRD sejak hari itu bertambah lah satu orang “musuh” hiks..hiks.

Di sisi lain, ketika si bawahan melakukan pelanggaran disiplin dan harus diberikan sanksi, maka dengan berbagai cara si supervisor menghindari untuk menyampaikan secara langsung sanksi terkait. Sebisa mungkin orang lain-lah yang menyampaikan “berita buruk” tersebut. Maka biasanya HRD yang kembali jadi alternatif “tumbal” .

Fenomena tersebut merupakan fakta yang tak sedikit. Mulai dari level team leader hingga pimpinan puncak suatu perusahaan. Sulit sekali saat ini didapatkan seorang yang sungguh sungguh sebagai pemimpin tanpa tanda petik. Yaitu seorang pemimpin yang siap menjalankan perannya secara “kaffah” / menyeluruh. Diantaranya ;

Memberi reward secara tepat sasaran, menjatuhkan punishment dan menyampaikannya secara langsung melalui konseling yang konstruktif, berada di garis depan ketika harus mempertanggungjawabkan kesalahan (yg dilakukan bawahan sekalipun), dan mampu mengambil keputusan secara tegas walaupun harus menghadapi sikap tidak bersahabat dari beberapa orang yang kena dampak negatif dari keputusannya tersebut.

Kalau seorang pemimpin yang ingin selalu menjadi “populer” dimata bawahannya, tentu saja akan serba ragu melakukan suatu ketegasan.

Sering sekali sikap yang tidak mau memberi sanksi pada bawahan yang melakukan indisipliner dilatarbelakangi oleh suatu alasan yang sangat lemah. Yaitu ketakutan kalau setelah diberi sanksi tersebut si bawahan akan “ngambek” dan tidak bekerja mendukungnya lagi. Padahal tanpa disadari, ketika ia tidak menghadapi sendiri dan memberi sanksi pada bawahannya, maka sejak itu pula si atasan akan kehilangan wibawa. Belum lagi ia akan mendapatkan sikap “protes” dari bawahannya yang lain, baik terbuka maupun pasif agresif yang justru akan sangat berbahaya untuk kinerja tim kedepannya.

Kasus perseteruan KPK Vs Polri + Kejagung merupakan tes case kemampuan “leadership” bagi seorang presiden SBY. Apakah ia seorang pemimpin atau sekedar “pegawai negara”.

Sejak dibukanya rekaman anggodo Cs oleh MK, maka sebenarnya masalah menjadi sangat terang benderang. Bahwa Institusi Polri & Kejagung dalam keadaan rapuh luar biasa. Ke dua institusi tersebut bisa dengan mudah diobrak abrik oleh seorang Anggodo dengan kepiawaian lobi nya. Lalu dimana masalahnya ? Seperti kata JK sang mantan Wapres itu, bahwa masalahnya sebenarnya sangat sederhana. Yaitu dikepemimpinan….!!

Kalau SBY lebih berani tegas untuk segera mengganti Jaksa Agung & Kapolri beserta jajaran jajaran penyidiknya yg disinyalir kotor itu, dengan pemimpin baru yang terjamin “kebersihan” dan memiliki kepemimpinan ideal, maka sebenarnya tugas presiden sudah 80 % selesai. Jangan berdalih ingin tetap berada dikoridor hukum dan undang undang, hanya untuk menghindari masalah atau menunda nundanya. Bukankah mengganti Kapolri & Jaksa Agung tersebut wewenang presiden ? Sehingga presiden tidak harus menabrak nabrak konstitusi (misalnya instruksi SP3), karna selanjutnya si kapolri & Jaksa agunglah yang bekerja.

Atau letak masalahnya mungkin adalah : tidak bisa tegas karna ada utang budi ?

Ah..embuhlahh…….dengan SBY kok kelihatannya masalah jadi tambah rumit ya…!?!!

*Dicari seorang pemimpin sejati untuk negeri..!!

Tinggalkan komentar